“Kemarin saya ketemu dengan jaringan advokasi tambang dia mengatakan ada kurang lebih 174 titik lokasi eks tambang batu bara yang menjadi lahan kritis,” ucapnya, Rabu (24/7/2024).
Menurutnya yang menjadi pertanyaan saat ini apa ada pemerintah daerah terkait membuat regulasi tentang bagaimana penanganan lahan kritis.
“Belum ada. Ada tidak Bupati Berau, Bupati Penajam Paser Utara, Bupati Kutai Barat, Kutai Timur yang notabene banyak tambangnya,” tuturnya.
“Kalau tambang legal masih aman. Yang bahaya ini ilegal bagaimana regulasi untuk mengatasi hal-hal seperti itu ” tambahnya kepada benuanta.co.id.
Namun Akmal menilai ada dua cara solusi ampuh agar penanganan lahan kritis eks tambang batu bara bisa teratasi yakni reward dan punishment. “Kalau punishmentnya tentu berbasis regulasi. Siapa yang membuat regulasi? Ya Pemda. Apa? Perda. Sehingga menjadi dasar Satpol PP melakukan langkah-langkah koordinasi dengan aparat hukum,” ungkapnya.
Kemudian bisa dilakukan cara tindakan preventif, Akmal menjabarkan yakni bisa memberikan insentif agar pemerintah daerah setempat bisa menjual hutan karbon.
“Mungkin Bapak Ibu tahu penjualan karbon. Tapi ada tidak regulasinya di daerah? Belum ada. Kami dari Kalimantan Timur mungkin yang pertama membuat peraturan gubernur tentang nilai ekonomi karbon seperti mangrove atau hutan gambut, tapi tidak ada insentif,” tegasnya.
Akmal akui membuat peraturan Gubernur tentang perdagangan karbon ada rasa takut yang mendalam. “Saya baru membuat dalam peraturan Gubernur itu dengan rasa takut yang luar biasa dari Dinas Lingkungan Hidup dan PTSP-nya ketakutan. Saya yakinkan ke Karo Hukum kalau ada permasalahan. Saya tanggung jawab,” tuturnya.
Untuk mengatasi penataan lahan kritis secara ideal bisa dilakukan dengan cara mendorong privat sektor agar melakukan bisnis pada bidang konservasi.
“Kita mudah mengeluarkan izin yang merusak alam tetapi sulit sekali membuat regulasi yang melindungi alam. Makanya keluarnya Inpres, saya yang pertama lakukan di Kaltim,” pungkasnya.(*)
Reporter: Georgie
Editor: Ramli