Tindaklanjut Hunian untuk Korban Kebakaran Milono Masih Belum Jelas

benuakaltim.co.id, BERAU – Pembangunan hunian baru untuk korban kebakaran di wilayah pinggir sungai Jalan Milono, Tanjung Redeb, Kabupaten Berau masih dilematis.

Korban juga belum mendapatkan kepastian soal tetap bermukim atau pindah ke tempat lain dari Pemerintah Kabupaten Berau.

Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Masyarakat (Kesra) Sekretariat Kabupaten (Setkab) Berau, Hendratno menjelaskan, pada umumnya pembangunan di wilayah pinggir sungai Jalan Milono dapat dilakukan apabila pembangunannya memenuhi 5 aspek aturan yang telah berlaku.

5 aspek tersebut di antaranya aturan pertanahan terkait hak milik, aturan sempadan jalan, sempadan sungai, ruang terbuka hijau, dan aturan tentang permukiman warga.

“Jadi, itu bukan tentang larangannya, tapi tentang aturan. Berarti kalau ada yang membangun penuhi itu dulu. Ini kita bicara bukan tentang korban tapi tentang pembangunan, diperbolehkan membangun jika memenuhi aturan 5 aspek itu. Kalau dia bisa memenuhi itu, silahkan,” jelasnya, Senin (10/2/2025)

Terdapat peluang bagi warga yang menjadi korban kebakaran untuk dapat bertahan serta memiliki rumah di lokasi yang sama. Namun, menurut Hendratno wilayah sungai mesti terbebas dari polusi atau pencemaran. Sehingga opsi untuk relokasi korban kebakaran bisa saja terjadi.

“Kalau kita biarkan terus seperti itu kan kadang akan menimbulkan bahaya sungai, polusi. Kita mencegah itu,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Berau, John Palapa menuturkan, wilayah Jalan Milono merupakan kawasan sempadan sungai. Artinya kawasan tersebut harus terbebas dari permukiman warga jika merujuk pada Perda RTRWK pasal 57 ayat 5.

“Menurut tata ruang (Jalur Milono) sempadan sungai. Sempadan sungai masuk dalam Perda RTRW. Dalam Perda sudah diatur semua,” tuturnya.

Berdasarkan Perda itu, terdapat kegiatan yang diperbolehkan berlangsung di wilayah sempadan sungai. Di antaranya pengendalian terhadap kegiatan yang telah ada di sepanjang sungai agar tidak berkembang lebih jauh.

“Selanjutnya, larangan pembuangan limbah ke sungai, pemanfaatan ruang untuk sarana dan prasarana pendukung transportasi, budidaya perikanan air tawar payau, pertanian, pariwisata, dengan pengamanan sempadan sungai dari abrasi,” urainya.

Selain itu, wilayah sempadan sungai memperbolehkan adanya aktivitas membuka ruang terbuka hijau, pendirian sarana dan prasarana pendukung pengelolaan tubuh air, serta sarana dan prasarana pendukung konservasi tubuh air.

Tak hanya itu, menurut John dapat dilakukan juga kegiatan pelestarian waduk beserta seluruh daerah tangkapan air di atasnya, pengembangan tanaman perdu, tanaman tegakan tinggi, dan penutupan tanah untuk melindungi pencemaran dan erosi terhadap air.

“Mendudukan perkara ini simpel sebenarnya. Kaitannya dengan P4T. P4T itu adalah pemilikan, penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah,” katanya.

Lebih lanjut John menuturkan, masyarakat boleh memiliki sertifikat lahan di wilayah tersebut. Namun, tidak semua lahan dapat dimanfaatkan, contohnya sempadan bangunan.

“Kita punya tanah di pinggir jalan, sertifikat sampai ujung. Tetapi ada ketentuan Garis Badan Bangunan (GSB). Artinya bahwa di dalam area GSB, tidak boleh ada bangunan,” terangnya.

“Berarti kalau kita memiliki sertifikat secara kepemilikan, tanah itu milik kita. Tetapi pada saat kita mau memanfaatkan, ada ketentuan lain yang namanya GSB,” lanjutnya.

Dalam persoalan ini, kemungkinan pembangunan kembali rumah warga, John juga tak dapat memberikan jawaban yang tegas. Ia juga tak dapat memastikan kemungkinan direlokasi suatu saat nanti.

“Untuk kebijakan tersebut (relokasi) bisa dikonfirmasi ke pemerintah daerah (Pemda),” pungkasnya. (*)

Reporter: Georgie Silalahi

Editor: Endah Agustina 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *